Menjaga
kehormatan dan harga diri manusia khususnya kehormatan wanita adalah
suatu asas yang telah diterima dalam agama Islam serta dalam seluruh
aturan-aturan dan hukum-hukumnya. Dan masalah hijab adalah merupakan
salah satu dari perkara tersebut. Al-Quran Karim telah menjelaskan
berbagai topik hijab dalam berbagai bentuk, gambaran, dan ibarat yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, hijab dipandang sebagai suatu kewajiban
dalam agama islam dan apabila seseorang mengingkarinya maka dia telah
mengingkari satu hukum yang telah diwajibkan dalam agama dan mengingkari
kewajiban agama berarti terjerumus di dalam kekafiran. Perlu diketahui
bahwa tidak perlu semua aturan-aturan Islam itu dibahas dalam Al-Quran,
karena Al-Quran Al-Karim adalah sebuah aturan pokok yang hanya
memberikan pembahasan secara global dan masalah-masalah detailnya
diserahkan kepada mufassir Al-Quran, yakni Rasulullah SAW dan para awliya
di mana mereka mengambil sumber dari wahyu Tuhan, di sisi lain juga
kebanyakan hukum-hukum tidak dibahas secara detail dalam Al-Quran, akan
tetapi dibahas dengan terang dan jelas di dalam fiqih islam. Adapun
masalah hijab terdapat beberapa ayat yang dijelaskan dengan detail di
dalam Al-Quran, oleh karena itu sebagian orang yang tidak memiliki
informasi tentang hijab, mereka menciptakan suatu keraguan dan
kesangsian di dalam pikiran wanita sehingga menanyakan “Memangnya hijab juga terdapat dalam Al-Quran?”
pertanyaan ini sampai kapanpun tidak akan pernah tepat, sebab Al-Quran
dengan jelas telah membahas topik tentang hijab dan setiap orang yang
mengakui dirinya muslim, maka dia tidak boleh mengingkari masalah hijab
dalam islam.
Sekarang kita tunjukkan sebagian dari ayat-ayat suci Al-Quran mengenai hijab berikut ini: (Qullilmu’minaati
yaghdhudhna min abshaarihinna wa yahpadzna puruujahunna walaa yubdiina
ziinatahunna illaa maa dzhara minhaa walyadhribna bikhumurihinna ‘alaa
juyuubihinna walaa yubdiina ziinatahunna illaa libu’uulatihinna …) Dan
katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka dan ….(QS. An-Nur : 31)
Ayat di atas
adalah ayat pertama yang menjelaskan tentang pandangan yang
membangkitkan syahwat, dan lelaki serta perempuan dianjurkan untuk
menahan pandangannya, sebab pandangan yang tercemari oleh syahwat pada
lawan jenis merupakan langkah untuk melakukan dosa dan kerusakan karena
itu akar dosa ini harus disingkirkan. Dan telah di jelaskan pula dengan
transparan bahwa memandang aurat orang lain (lelaki, perempuan, muhrim
dan non muhrim) adalah dilarang. Topik lain yang perlu diperhatikan pada
ayat ini adalah kewajiban menutup leher, dada dan seputar anggota badan
wanita yang kebanyakan di jadikan pusat perhatian oleh lawan jenis,
demikian juga dalam ayat ini menunjukkan bahwa adanya larangan berhias
dan berdandan untuk yang non muhrim, kecuali apa yang telah nampak
darinya, dan sambungan dari ayat sebelumnya, dengan jelas telah melarang
secara mutlak untuk tidak menunjukkan dan mempertontonkan keindahan
diri kepada yang non muhrim, dan kalimat itu adalah; walaa yadhribna biarjulihinna
…; yaitu Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan (seperti khalkhal yang di pakai oleh
wanita-wanita arab); bahkan badan sampai pergelangan tangan dan juga
kaki harus ditutup. Disamping itu ayat ini telah menjelaskan tentang
falsafah hijab dan kehormatan menahan pandangan yang di antaranya adalah
menghindari terjadinya kesalahan dan kerusakan.
Ayat ke dua yang membahas tentang kewajiban menutup tubuh adalah ayat 59 surah Al-Ahzab yang berbunyi: ”Wahai
Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin,”Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya
keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk
dikenali, sehingga mereka tidak di ganggu.”
Dalam kitab Lisânul Arabi
di katakan: Jilbab, yaitu lebih besar dari kerudung dan lebih kecil
dari jubah, yang dengan wasilah ini wanita menutupi kepala dan dadanya.
Oleh karena itu kata “Jilbâb” dalam surah Al-Ahzab di atas dan kata
“Khumur” dalam surah An-Nur dengan jelas menekankan mengenai kewajiban
menutup tubuh bagi wanita terhadap non mahramnya. Biasanya “Khumur”
menunjukkan pada kewajiban menutup kepala dan dada serta leher dengan
sesuatu yang menyerupai kerudung, akan tetapi “Julbaab” adalah sebuah
pakaian yang lebih panjang dari kerudung di mana seluruh tubuh tertutupi
olehnya; yaitu sesuatu yang menyerupai jubah dan biasanya dipakai oleh
wanita-wanita arab.
Hijab adalah
wajib bagi semua wanita, dan wanita-wanita yang bertalian dan
bersangkutan dengan kepemimpinan umat harus lebih berhati-hati, sebab
mereka akan menjadi tokoh atau panutan terhadap wanita-wanita lain.
Dengan demikian baik dalam berbicara, berhadapan dan bertemu dengan
masyarakat serta aktivitas lainnya, menjaga hijab sangatlah dianjurkan
karena mereka dalam hal ini sangatlah peka dan sensitif. Dari sudut
pandang yang lain, kali ini Al-Quran menjadikan istri-istri Nabi sebagai
acuan, dan berkata: (Yaa nisaa’annabii lastunna kaahadin
minannisaa’i inittaqaitunna falaa takhdha’na bil qauli fayathma’a aladzi
fi qalbihi maradhun wa qulna qawlan ma’ruufan). “Wahai istri-istri
Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam
berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya,
dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS.Al-Ahzab : 32)
Ayat di atas
adalah menegaskan tentang bagaimana menghindari terjadinya dosa dan
fitnah dan wanita-wanita diharuskan memiliki batas di dalam berbicara
dengan yang non muhrimnya, sebagaimana di dalamnya tidak terlihat
berbagai bentuk godaan dan rangsangan sehingga dapat menimbulkan fitnah.
Demikan juga mengenai istri-istri Nabi saw dikatakan: (Wa qarna
buyuutikunna walaa tabarrajna tabarruja aljahiliyyati al uula). Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
(bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. (QS.Al-Ahzab
: 33) Dan juga ayat 53 dalam surah yang sama diketahui sebagai
pelengkap tentang kebagaimanaan wanita-wanita menjaga hijabnya dalam
bersosialisasi dan mengatakan:( Wa idzaa saaltumuhunna mataa’aan fas
aluhunnna min waraai hijaabin dzalikum athharu liquluubikum wa
quluubihinna …. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. (QS. Al-Ahzab : 53)
Ketika kita
mencermati muatan ayat tersebut di atas, maka sangatlah jelas bahwa
hijab adalah menghindari dari terjadinya dosa dan fitnah, dan kesemuanya
ini telah ditekankan pada hijab dan penutup tubuh wanita untuk
kebersihan dan keselamatan masyarakat. Masih terdapat banyak poin-poin
tentang hijab dari ayat yang lain dalam Al-Quran yang dikarenakan
pembahasannya akan dialihkan ke topik yang lain maka kami tidak
memberikan penjelasannya.
Hijab dalam Hadis-Hadis dan Budaya Ahli Bait
Adapun Al-Quran yang merupakan Tsaql Akbar
dan juga amanat besar ilahi, menjelaskan bahwa penutup atau hijab
wanita adalah merupakan satu tugas dan tanggung jawab, dan juga di dalam
hadis-hadis ahli bait yang dikenal sebagai Tsaql Ashgar dan tafsir Quran menjelaskan tentang hijab. Efaf
atau penutup bagi wanita secara detail yang sebahagian dari hadis
tersebut dapat kita tunjukkan sebagai berikut: Imam Ali kw berkata dalam
suratnya kepada anaknya Sayyidina Hasan; wakfuf ‘alaihinna min
absharihinna bihijaabika iyyahunna fainna syiddata alhijaabi abqaa
‘alaihinna … Wanita-wanita yang menutup wajahnya sehingga matanya tidak
tertuju pada yang non muhrim (dan mata non muhrim tidak tertuju
kepadanya) di sebabkan wanita-wanita yang ketat dalam berhijab akan
lebih terjaga dari segala gangguan, dan ketika mereka keluar rumah tidak
lebih buruk dari orang-orang non muhrim dan membawa orang lain yang
tidak dapat di percaya kedalam rumahnya.(Bihar al-Anwar, Jilid 100).
Imam Ali
dalam perkataan nuraninya, di samping beliau menegaskan tentang hijab,
juga menjelaskan dengan aspek khusus filsafat dan penyebab dari hijab
tersebut yang juga melingkupi kekekalan, daya tahan dan pemeliharaan
wanita dalam sorotan hijabnya dan juga mengisyaratkan topik dan tema
penting yang lain yaitu tidak memasukkan orang-orang yang tidak dapat
dipercaya ke dalam rumah, dan juga tidak seharusnya teman-teman dan
keluarga yang non muhrim banyak lalu lalang atau bolak balik di dalam
rumah, demikian pula wanita terlarang baginya untuk lalu lalang di
tengah masyarakat tanpa memakai hijab.
Dalam
hadis-hadis mengenai akhir zaman telah di ingatkan, di antaranya tentang
wanita-wanita yang berbuat dosa dan fitnah dan telah menjadi cercaan
adalah mereka yang hadir di tengah-tengah lelaki untuk menjual diri dan
tanpa memakai hijab.
Rasulullah SAW megabarkan bahwa azab bagi wanita-wanita yang berhijab buruk adalah demikian: Shinfaani
min ummatii min ahlinnaari lam arahumaa … wa nisaa’an kaasiyaatun
‘aariyaatun…; Pada malam mikraj Saya menyaksikan dua kelompok dari
penghuni neraka yang sebelumnya saya tidak pernah melihat serupa ini,
dalam siksaan saya melihat, sejumlah wanita-wanita yang memakai
pakaian-pakaian tipis dan menampakkan tubuh (setengah telanjang) dengan
wajah-wajah yang tidak tertutupi, mereka ini tidak akan memasuki surga
dan tidak akan sampai kepadanya bau surga padahal bau wangi surga
tersebut dapat tercium keharumannya dalam jarak yang sangat jauh dan
panjang.(Atsaar as-Shadiqiin, Jilid 3)
Azab Bagi Yang Berhijab Buruk
Imam Ali kw
berkata: Saya menemui Rasulullah SAW, dan saya melihat beliau dalam
keadaan menangis, saya menanyakan penyebab beliau menangis. Rasulullah
SAW berkata: Dalam malam mikraj, saya melihat sejumlah wanita-wanita
dari umat saya sedang dalam azab yang sangat dahsyat. Salah satu dari
mereka seorang wanita yang rambut kepalanya digantung dan dia adalah
wanita yang tidak menutup rambutnya di depan non muhrim, demikian pula
saya melihat seorang wanita yang memakan daging dirinya sendiri dan dia
adalah wanita yang berhias dan mempercantik dirinya untuk orang lain.
(Wasail, Jilid 14)
Wanita-Wanita di Akhir Zaman
Sangat
disayangkan bahwa salah satu dari tanda-tanda akhir zaman yang telah
banyak di jelaskan dalam hadis-hadis adalah perihal keadaan menyedihkan
wanita-wanita berhijab buruk pada zaman itu. Wanita-wanita dalam zaman
itu, hadir di tengah-tengah masyarakat dalam suatu bentuk yang buruk,
memolekkan dan mempercantik dirinya bukan untuk suaminya, dan memakai
pakaian-pakaian yang setengah telanjang dan menampakkan tubuhnya.
Rasulullah SAW berkata: Halaaku
nisaai ummatii filahmaraini adzdszahabu watstsayaaburriqaaqi. Terdapat
dua penyebab yang menghancurkan umat saya, yang pertama adalah emas
(perhiasan-perhiasan) dan yang ke dua adalah pakaian-pakaian tipis dan
menampakkan tubuh. (Arsyaadu al-Quluub, Jilid 1). Berdasarkan
inilah membuat wanita-wanita berhijab buruk dan bahkan lebih buruk lagi
dari mereka yang tidak berhijab, hal ini mengisyaratkan tentang
kebenaran-kebenaran dari kerusakan dan kebinasaan yang merupakan
tanda-tanda akhir zaman dan juga kita lihat bahwa ketidakmaluan para
wanita yang mempermainkan seorang lelaki, hal inilah yang menjadi sumber
kekhawatiran Rasul Akram SAW dan sangat disayangkan bahwa sebagian dari
wanita-wanita muslim yang terjun dan aktif ke dalam masyarakat, mereka
selangkah lebih maju dari wanita-wanita barat dengan wajah yang dihias
kental dan tebal serta berpakaian ringan dan sembrono, padahal mereka
ini lebih merusak dan membinasakan dari pada wanita-wanita barat yang
non hijab, dan hal ini adalah masalah yang sangat besar. Seorang wanita
yang menyatakan dirinya muslim seharusnya dia tidak menodai dan
menyakiti hati Rasulullah SAW dan jantung Imam ‘Ashr. Apakah memang
tidak boleh seorang wanita muslim meneladani dan menokohkan Sayyidah
Zahra dan Sayyidah Zaenab? Apakah dahulu beliau-beliau ini hijab dan
pakainnya adalah demikian? Sayyidah Zaenab kubra dalam majelis Yazid di
samping beliau menyatakan protesnya terhadap Yazid, beliau juga
mengisyaratkan masalah hijab dan beliau berkata pada Yazid: Bagaimana
prinsip kamu terhadap tirai kesucian sehingga kamu dapat terjaga dan
terpelihara dari para non muhrim dan bagaimana pula prinsip kamu
mengarak para keluarga Rasulullah SAW dari kota ke kota sehingga setiap
non muhrim menengok ke arah wajah-wajah mereka?
Aminal’adli
yabnaththulaqaa’a takhdiruka haraairaka wa imaaaka wa sawquka banaati
rasulillahi saw sabaayaa qad hatakta sutuurahunna wa abdaita
wujuuhahunna, Wahai Yazid! Apakah ini berarti adil bahwa para wanita dan
para kanizmu kamu tunjukkan dibalik tirai sementara putri-putri
Rasulullah SAW kamu arak ke berbagai kota dan kamu jadikan mereka
tawanan dan tirai hijab mereka kamu koyak, melepaskan cadar-cadar mereka
dari wajahnya?!(Hayaatu al-Imam Husain, Khotbah Hadhrat Zaenab di Syam)
Penegasan Rasulullah SAW Tentang Hijab
Rasulullah
SAW selain menyarankan secara tegas terhadap pentingnya menghindari
berhijab buruk, beliau juga memperhatikan dalam tingkatan amal, Ummu
Salamah salah satu dari istri-istri Rasulullah SAW mengatakan: Saya dan
Maemunah istri yang lain dari Rasulullah SAW setelah sampai kepada kami
tentang perintah berhijab, kami menemui Rasulullah SAW yang ketika itu
pula anak dari Ummu Maktum (yang matanya buta) memasuki ruangan kami,
Rasulullah SAW berkata: Ihtajibaa; tutuplah diri-diri kalian. Saya mengatakan: Wahai Rasulullah! Dia adalah buta (dia tidak akan melihat kami). Beliau berkata: Afa’umyaa wa in antuma? Apakah kalian juga buta (dan kalian tidak melihat dia)?
Jadi telah jelas bahwa menjaga hijab dan tidak melihat, tidak terbatas
dan terkhusus pada lelaki saja bahkan wanita juga harus menjaga mata dan
tubuhnya di hadapan lelaki.
Hijab di dalam Rumah Az-Zahra
Rasulullah
SAW tengah memasuki rumah Az-Zahra, Ali kw berkata : Jelaskanlah kepada
kami apa tugas-tugas kami, Rasulullah SAW berkata: Pekerjaan-pekerjaan
di dalam rumah di kerjaakan oleh Zahra dan pekerjaan-pekerjaan di luar
rumah di tugaskan kepada Ali. Fatimah berkata: Hanya Tuhan yang tahu
bahwa dengan adanya pembagian tugas ini saya sangat gembira; karena
Rasulullah SAW melepaskan beban pekerjaan ini dari saya dan pekerjaan di
luar rumah akan senantiasa dilaksanakan oleh para lelaki.
Imam Shadiq berkata: Kaanaa amiiralmu’minina, yahtathibu wa yastasqaa wa yaknusu wa kaanat faathimatu tathhanu wa ta’jinu wa takhbizu;
Amiralmu’minin as dan Fatimah as membagi pekerjaan-pekerjaannya sebagai
berikut: Pekerjaan di luar rumah, seperti: mengumpulkan kayu bakar,
mengambil air dari sumur, dan menyapu di kerjakan oleh Ali dan pekerjaan
di dalam rumah seperti: menggiling gandum, membuat roti, dan memanggang
roti dikerjakan oleh Fatimah.
Telah di
nukil dari Imam Musa ibnu Ja’far yang mengatakan: Seorang lelaki buta
dengan lebih dahulu meminta izin telah memasuki rumah Fatimah
(sepertinya dia perlu dengan Rasulullah SAW) Fatimah mengambil
kerudungnya dan beliau bersembunyi di dalam kerudung tersebut (mengambil
hijab), Nabi SAW berkata: Putriku mengapa engkau menutup dirimu
sedangkan dia tidak melihatmu? Beliau berkata: Apabila dia tidak melihat
saya, tapi saya melihat dia dan dia (jika tidak melihat dan buta)
tetapi dia mencium bau wanita! Rasulullah SAW sedemikian gembiranya
sambil berkata: Saya bersaksi bahwa engkau adalah belahan jiwaku.
(Hayaatu Al-Imam Husain,Khutbah Hadrat Zaenab)
Pada
hakikatnya Rasulullah SAW menegaskan bahwa Fatimah sangat teliti dan
berhati-hati dalam suatu pekerjaan yang berhubungan dengan menjaga dan
memelihara hijab di depan non mahram. Sayyidah Fatimah dalam menjawab
pertanyaan Rasulullah SAW yang berbunyi: Apa yang lebih baik bagi
wanita? Fatimah berkata: An laa yaraahunnarrijaalu wa laa yarainarrijaala; lelaki tidak memandang wanita dan wanita tidak memandang lelaki, seketika itu Rasulullah SAW berkata: Engkau adalah benar-benar belahan jiwaku. (Wasaail,jilid 14)
Hijab Setelah Meninggal
Sayyidah
Zahra semasa hidupnya, berkenaan dengan masalah hijab, baginya tidak
hanya sebuah nilai dan asas; bahkan beliau juga mengkhawatirkan jenazah
dirinya ketika setelah meninggal. Asma binti Umais berkata: Suatu hari
Fatimah berkata kepada saya: Saya tidak ridha melihat perlakuan
masyarakat Madinah yang wanita-wanitanya apabila setelah meninggal
mereka membawanya ke pemakaman dalam bentuk yang tidak menyenangkan dan
hanya selembar kain yang menutupi tubuhnya, padahal lekuk-lekuk tubuh
mereka dapat terlihat di balik kain tersebut. Asma berkata: Saya melihat
sesuatu di negeri Habasyah yang mengangkut jenazah-jenazah mereka.
Mereka mengambil ranting-ranting dari pohon kurma kemudian mereka
membuatnya menjadi sebuah keranda, setelah itu sebuah kain di letakkan
di atasnya dan mereka letakkan jenazah di dalam keranda tersebut,
sebagaimana badan jenazah itu tidak akan terlihat. Ketika Fatimah
mendengar topik ini beliau tersenyum dan inilah satu-satunya senyuman
yang terlihat dari beliau setelah wafatnya Rasulullah SAW oleh karena
itu beliau berwasiat: Sediakanlah bagiku sebuah keranda yang apabila
jenazah di angkat tubuhku tidak terlihat. (Dzakhaair al ‘aqbaa)
Oleh karena
itu dengan memperhatikan pada ayat-ayat Quran Karim yang sebagian dari
pembahasannya telah kami jelaskan dan perbuatan serta sunnah Rasulullah
SAW dan keluarganya yang suci serta juga telah sampai kepada kita
poin-poin kecil yang berbeda-beda dari para pemimpin agama, hijab bagi
wanita dan lelaki adalah suatu kewajiban yang tidak dapat di ingkari dan
barang siapa yang mengingkarinya, berarti ingkar terhadap salah satu
kewajiban-kewajiban islam dan tidak satupun alasan dan uzur yang dapat di terima.
Menjaga Hak Ilahi dan Hak Sosial
Hijab
bukanlah satu hak seseorang yang dapat mengatakan bahwa saya tidak
senang menjaga hak ini; bahkan pada tingkat awal hal ini adalah hak
Ilahi dan perintah Tuhan, dan menjaganya berarti menjaga hak Tuhan dan
tidak menjaganya, berarti menginjak-injak hak Tuhan dan akan mendapat
azab Ilahi, khususnya apabila sejumlah dari para pemakai hijab buruk,
menyeret sebagian orang untuk berbuat dosa dan ribuan dosa-dosa lainnya
yang dalam hal ini, mereka akan mendapat azab di hari kiamat lebih
dahsyat dan kemalangan serta kehancuran mereka di alam akhirat yang
tidak dapat di ungkapkan. Di samping itu bahwa menjaga hijab dan
kehormatan, adalah suatu hak pasti sosial sebab bencana dari
ketidakterjagaan dalam berhijab ini juga akan sampai kepada orang-orang
di sekitarnya dan juga menjadi penyebab meluasnya dosa serta polusi di
seputar orang-orang yang tinggal di dalam masyarakat itu sendiri.
Seseorang tidak akan mampu memecahkan rintangan ini dan ini sama halnya
dengan orang yang menciptakan kerusuhan dalam sebuah pesawat atau kapal
laut, dalam hal ini tenggelamnya kapal laut atau jatuhnya pesawat
akibatnya akan mencederai semua orang, tidak hanya pada orang yang
berbuat kerusuhan itu; dari hal ini sebagian orang di dalam masyarakat
mempunyai hak untuk menghalangi orang-orang yang tidak berhijab dan yang
berhijab buruk, dan ini bukan berarti ketiadaan kebebasan, bahkan hal
ini berarti menjaga kebebasan orang lain. Dengan dalil ini, amar ma’ruf wa nahi munkar
adalah wajib bagi seluruh masyarakat sosial, jadi seluruh masyarakat
harus bertindak untuk mencapai hak-haknya sebagai masyarakat dan
keselamatan sosialnya. Dalam ibarat yang lain, semua masyarakat
mempunyai hak untuk memanfaatkan kemudahan dan keamanan ruh dan
pikirannya, apabila seseorang memberikan hak pribadinya memasuki
masyarakat dengan terbuka dan telanjang maka orang lain pun juga akan
menggunakan haknya untuk menghalangi dia; sebab dia akan mencemari para
wanita dan juga lelaki, dimana merupakan sumber hilangnya rasa malu yang
dapat menyeret mereka untuk berbuat dosa. Setiap ayah mempunyai hak
untuk mengkhawatirkan anak-anak sucinya untuk tidak berbuat dosa. Jadi
mengapa orang lain yang dirinya sendiri tidak berhijab harus
memyediakan sarana untuk melakukan dosa kepada anak-anaknya? Mengapa
pemerintah tidak bertindak dan tidak melarangnya? Mengapa pihak
kehakiman dan pihak keamanan tidak menindaki mereka? Oleh karena itu
apabila seorang non hijab memberikan hak pribadinya yang menyerupai
hewan bebas, maka orang lain pun juga menggunakan haknya untuk
menghalangi hewan yang tidak berakal ini dan mengutamakan hak sosial
dari pada hak pribadinya.
Apakah Hijab Mempunyai Warna dan Batas Tertentu?
Tidak di
ragukan bahwa hijab yang menjadi topik pembahasan luas adalah hijab yang
di ketahui sebagai suatu penutup yang menutupi seluruh bentuk-bentuk
tubuh wanita, tidak merangsang dan tidak menarik, jadi warna tertentu
bukanlah suatu batasan dan tidak menjadi perhatian khusus; akan tetapi
dengan dalil bahwa warna hitam menjauhkan dari segala rangsangan dan
ketertarikan dan juga terkesan berat dan kental; dan dengan ta’bir
lain bahwa warna hitam adalah tidak menarik pandangan dan perhatian;
oleh karena itu lebih banyak di jadikan fokus dan tinjauan, dan tidak
ada satu pun hadis yang yang mengatakan tentang warna penutup (hijab)
wanita dan batasannya menutupi seluruh tubuh kecuali muka, dan kedua
pergelangan tangan. Di samping itu bahwa cadur di tinjau dari suatu jenis penutup yang sempurna, yang mana cadur adalah eksistensi kata julbab
yang terdapat di dalam Al-Quran dan dapat dijadikan pakaian atau
penutup yang lebih baik dan lebih sempurna dan tidak ada bedanya antara
yang berlengan (‘abaa arab) atau tanpa lengan (cadur iran).
Sayyidah
Zahra dan juga anak-anak sucinya seperti halnya orang-orang mukmin lain
dalam sepanjang sejarah Islam, mereka dahulu memilih hijab yang lebih
sempurna dan wanita-wanita muslim masa sekarang seharusnya menjadikan
mereka sebagai contoh atau tokoh pribadinya.
Hal-hal Yang Telah Menjadi Pengecualian Menutup Bagi Wanita
Memelihara
dan menjaga hijab adalah wajib dalam segala kondisi; akan tetapi ada
hal-hal yang telah menjadi pengecualian. Adalah sudah pasti bahwa yang
menjadi pengecualian tersebut kita cukupkan hanya pada hal-hal yang
dharuri saja.
1.Wajah dan Tangan Sampai Pergelangannya.
Seperti yang
telah kami katakan bahwa seluruh tubuh wanita harus tertutup dari non
muhrim; kecuali wajah dan kedua tangan sampai pergelangannya yang bagi
wanita tidak wajib menutupnya, meskipun bahagian itu juga mustahab
menutupnya dan merupakan hal yang baik. Dari sisi ini kebanyakan
wanita-wanita beragama di zaman dahulu mereka memakai cadar dan sampai
sekarang masih ada pula wanita-wanita yang memakainya. Adalah haram
melihat ke wajah atau tangan wanita apabila bermaksud untuk
berlezat-lezat dan hal ini di hitung sebagai ajang cuci mata tanpa
melakukan dosa terhadap wanita itu sendiri.
Aisyah menukil bahwa: Asma
putri Abu Bakar telah masuk dan hadir di depan Rasulullah SAW dalam
keadaan dia berpakaian tipis dan menampakkan tubuh, Rasulullah SAW
membalikkan wajah darinya dan berkata: Wahai asma! Tidak selayaknya
wanita yang telah sampai pada masa balighnya menampakkan sesuatu dari
tubuhnya; kecuali dua bagian yang Rasulullah SAW isyaratkan pada wajah
dan kedua tangan sampai pergelangannya. (Sunan Abu Dawud, Jilid 2)
Masalah:
Wanita harus menutup tubuh dan rambutnya dari non muhrim dan ihtiyat
wajib dia juga menutup tubuh dan rambutnya dari anak laki-laki yang
masih belum baligh tetapi dapat menentukan baik dan buruknya sesuatu
(mumayyis). (Risalah Maraji’)
Ali ibnu Ja’far dalam menjawab masalah bahwa sampai dimana batasan non muhrim dapat melihat tubuh wanita?
Dari perkataan saudaranya Imam Musa ibnu Ja’far berkata: Alwajhu walkaffa wa maudhi’a assiwaari;[1] (hanya) dapat melihat pada wajah dan telapak tangan dan tempat gelang yang biasa tergantung di tangannya. (Qarb al-Asnaad)
Tidak diragukan bahwa maksud dari melihat adalah melihat tanpa bermaksud berlezat-lezat.
2.Ketika Melamar
Satu hal
lagi yang lelaki dapat melihat pada wanita non muhrim adalah ketika
lelaki datang melamar. Apabila seorang lelaki bermaksud ingin menikah
dengan seorang wanita maka berdasarkan hadis-hadis, lelaki tersebut
dapat melihat ke wajah dan bahkan rambut kepala wanita itu sehingga
lelaki tersebut tidak menyesal setelah menikah. Dalam konteks ini, pada
hakikatnya lelaki dihukumi sebagai seorang pembeli dimana dia harus
memilih barang yang merupakan keinginannya, agama Islam juga
memperhatikan hal ini dan mengatakan: Lelaki dapat melihat calon
istrinya tanpa bermaksud berlezat-lezat dengan syarat bahwa si wanita
tersebut akan dinikahinya. Imam Ali Kw berkata tentang perihal seorang
lelaki yang ingin aqad dengan seorang wanita, beliau
mengatakan: Tidak ada halangan untuk melihat si wanita tersebut; sebab
lelaki adalah pembeli. (Wasaail, Jilid 14)
Imam Shadiq
berkata: Tidak ada halangan seorang lelaki yang ingin menikah dengan
seorang wanita melihat ke wajah dan tempat gelangnya. (Wasaail, Jilid
14)
Dalam hadits
lain beliau berkata: Lelaki dapat melihat keindahan-keindahan dan
rambut kepala calon istrinya dengan syarat bahwa tidak bermaksud untuk
berlezat-lezat.
3.Dharurat
Satu lagi
yang telah menjadi pengecualian dalam hal melihat kepada non muhrim
adalah dalam keadaan dharurat; seperti ketika jiwa seorang non muhrim
dalam bahaya dan dokter tidak mempunyai cara lain untuk menolongnya
kecuali dia terpaksa harus menyentuh dan mengoperasinya; seperti
melahirkan dan lain-lain. Akan tetapi dharurat di sini berarti bahwa
hanya berkeinginan untuk menolong jiwanya; tetapi apabila dokter wanita
tersedia, tanpa adanya dharurat maka dokter lelaki tidak boleh melihat
dan menyentuh pasien non muhrim. Bahkan jika memungkinkan dia boleh
melihatnya lewat cermin dan tidak boleh melihatnya secara langsung.
Akan tetapi
di tengah-tengah masyarakat hal ini sering membayangi bahwa dokter
adalah muhrim; ini adalah kesalahan belaka, dokter sampai kapanpun
adalah non muhrim dan hanya ketika dharurat, dia dapat melihat
kehormatan atau menyentuh pasiennya dan karena hanya dengan jalan
memeriksa masalah akan terselesaikan.
4.Muhrim
Dalam
Al-Quran mengenai ayat-ayat hijab, muhrim dapat diketahui apakah dengan
perantaraan perkawinan seperti: Ibu si istri dan ayah suami dan dengan
perantaraan nisbi seperti: saudara laki-laki, ayah, paman dari pihak
ayah, paman dari pihak ibu, yang kesemuanya ini telah menjadi
pengecualian; yakni para muhrim tersebut dapat melihat satu sama lain
tanpa disertai dengan berlezat-lezat dan apabila disertai dengan
berlezat-lezat maka melihat baginya adalah haram, meskipun wanita tidak
wajib menutup untuk muhrimnya; akan tetapi adalah baik jika menjaga
kehormatannya.
Ibu atau
saudara perempuan tidak sepantasnya berpakaian sedemikian rupa di
hadapan anak lelakinya yang masih bujang sehingga dapat menyalahi
kehormatan, dan mereka juga tidak sepantasnya berhias diri di depan
kakek, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah dan ibu, sebagaimana
diketahui sebagai muhrim, meskipun tidak haram memakai pakaian-pakaian
yang merangsang dan menyalahi kehormatan di depan para muhrim yang telah
di sebutkan tadi, tetapi hal ini adalah tidak benar dan tidak sopan.
Kesalahan lain yang sering terjadi pada sebagian dari keluarga adalah
bahwa saudara perempuan si istri atau saudara laki-laki suami diketahui
adalah muhrim dan hadir di hadapan mereka tanpa memakai hijab, padahal
sangkaan dan pikiran ini adalah salah dan jika suami anda mempunyai
sepuluh saudara laki-laki atau istri anda mempunyai sepuluh saudara
perempuan maka bagi anda semuanya ini adalah non muhrim. Menantu wanita
dapat menjadi muhrim dengan suami dan ayah suaminya hanya dengan melalui
perkawinan dan sebaliknya pula menantu lelaki dapat menjadi muhrim
dengan istri dan ibu istrinya hanya dengan melalui perkawinan dan
selainnya itu harus menjaga hijabnya.
Assalamu'alaikum. Semoga makin banyak ahwat yang tergerak hatinya untuk memakai jilbab. Terimakasih artikelnya menambah pengetauan. Sukses selalu. Yu berjilbab pakai koleksi jilbab dan mukena dari Meidiani yang sekarang dapat Anda dapatkan di http://jilbabers.com/. Wassalam
BalasHapus