Senin, 18 Maret 2013

HIJAB dalam AL-QURAN dan HADIS

       Menjaga kehormatan dan harga diri manusia khususnya kehormatan wanita adalah suatu asas yang telah diterima dalam agama Islam serta dalam seluruh aturan-aturan dan hukum-hukumnya. Dan masalah hijab adalah merupakan salah satu dari perkara tersebut. Al-Quran Karim telah menjelaskan berbagai topik hijab dalam berbagai bentuk, gambaran, dan ibarat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, hijab dipandang sebagai suatu kewajiban dalam agama islam dan apabila seseorang mengingkarinya maka dia telah mengingkari satu hukum yang telah diwajibkan dalam agama dan mengingkari kewajiban agama berarti terjerumus di dalam kekafiran. Perlu diketahui bahwa tidak perlu semua aturan-aturan Islam itu dibahas dalam Al-Quran, karena Al-Quran Al-Karim adalah sebuah aturan pokok yang hanya memberikan pembahasan secara global dan masalah-masalah detailnya diserahkan kepada mufassir Al-Quran, yakni Rasulullah SAW  dan para awliya  di mana mereka mengambil sumber dari wahyu Tuhan, di sisi lain juga kebanyakan hukum-hukum tidak dibahas secara detail dalam Al-Quran, akan tetapi dibahas dengan terang dan jelas di dalam fiqih islam. Adapun masalah hijab terdapat beberapa ayat yang dijelaskan dengan detail di dalam Al-Quran, oleh karena itu sebagian orang yang tidak memiliki informasi tentang hijab, mereka menciptakan suatu keraguan dan kesangsian di dalam pikiran wanita sehingga menanyakan “Memangnya hijab juga terdapat dalam Al-Quran?” pertanyaan ini  sampai kapanpun tidak akan pernah tepat, sebab Al-Quran dengan jelas telah membahas topik tentang hijab dan setiap orang yang mengakui dirinya muslim, maka dia tidak boleh mengingkari masalah hijab dalam islam.
Sekarang kita tunjukkan sebagian dari ayat-ayat suci Al-Quran mengenai hijab berikut ini: (Qullilmu’minaati yaghdhudhna min abshaarihinna wa yahpadzna puruujahunna walaa yubdiina ziinatahunna illaa maa dzhara minhaa walyadhribna bikhumurihinna ‘alaa juyuubihinna walaa yubdiina ziinatahunna illaa libu’uulatihinna …) Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka dan ….(QS. An-Nur : 31)
Ayat di atas adalah ayat pertama yang menjelaskan tentang pandangan yang membangkitkan syahwat, dan lelaki serta perempuan dianjurkan untuk menahan pandangannya, sebab pandangan yang tercemari oleh syahwat pada lawan jenis merupakan langkah untuk melakukan dosa dan kerusakan karena itu akar dosa ini harus disingkirkan. Dan telah di jelaskan pula dengan transparan bahwa  memandang aurat orang lain (lelaki, perempuan, muhrim dan non muhrim) adalah dilarang. Topik lain yang perlu diperhatikan pada ayat ini adalah kewajiban menutup leher, dada dan seputar anggota badan wanita yang kebanyakan di jadikan pusat perhatian oleh lawan jenis, demikian juga dalam ayat ini menunjukkan bahwa adanya larangan berhias dan berdandan untuk yang non muhrim, kecuali apa yang telah nampak darinya, dan sambungan dari ayat sebelumnya, dengan jelas telah melarang secara mutlak untuk tidak menunjukkan dan mempertontonkan keindahan diri kepada yang non muhrim, dan kalimat itu adalah; walaa yadhribna biarjulihinna …; yaitu Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (seperti khalkhal yang di pakai oleh wanita-wanita arab); bahkan badan sampai pergelangan tangan dan juga kaki harus ditutup. Disamping itu ayat ini telah menjelaskan tentang falsafah hijab dan kehormatan menahan pandangan yang di antaranya adalah menghindari terjadinya kesalahan dan kerusakan.
Ayat ke dua yang membahas tentang kewajiban menutup tubuh adalah ayat 59 surah Al-Ahzab yang berbunyi: ”Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,”Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak di ganggu.”
Dalam kitab Lisânul Arabi di katakan: Jilbab, yaitu lebih besar dari kerudung dan lebih kecil dari jubah, yang dengan wasilah ini wanita menutupi kepala dan dadanya. Oleh karena itu kata “Jilbâb” dalam surah Al-Ahzab di atas dan kata “Khumur” dalam surah An-Nur dengan jelas menekankan mengenai kewajiban menutup tubuh bagi wanita terhadap non mahramnya. Biasanya “Khumur” menunjukkan pada kewajiban menutup kepala dan dada serta leher dengan sesuatu yang menyerupai kerudung, akan tetapi “Julbaab” adalah sebuah pakaian yang lebih panjang dari kerudung di mana seluruh tubuh tertutupi olehnya; yaitu sesuatu yang menyerupai jubah dan biasanya dipakai oleh wanita-wanita arab.
Hijab adalah wajib bagi semua wanita, dan wanita-wanita yang bertalian dan bersangkutan  dengan kepemimpinan umat harus lebih berhati-hati, sebab mereka akan menjadi tokoh atau panutan terhadap wanita-wanita lain. Dengan demikian baik dalam berbicara, berhadapan dan bertemu dengan masyarakat serta aktivitas lainnya, menjaga hijab sangatlah dianjurkan karena mereka dalam hal ini sangatlah peka dan sensitif. Dari sudut pandang yang lain, kali ini Al-Quran menjadikan istri-istri Nabi sebagai acuan, dan berkata: (Yaa nisaa’annabii lastunna kaahadin minannisaa’i inittaqaitunna falaa takhdha’na bil qauli fayathma’a aladzi fi qalbihi maradhun wa qulna qawlan ma’ruufan). “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS.Al-Ahzab : 32)
Ayat di atas adalah menegaskan tentang bagaimana menghindari terjadinya dosa dan fitnah dan wanita-wanita diharuskan memiliki batas di dalam berbicara dengan yang non  muhrimnya, sebagaimana di dalamnya tidak terlihat berbagai bentuk godaan dan rangsangan sehingga dapat menimbulkan fitnah. Demikan juga mengenai istri-istri Nabi saw dikatakan: (Wa qarna buyuutikunna walaa tabarrajna tabarruja aljahiliyyati al uula). Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. (QS.Al-Ahzab : 33) Dan juga ayat 53 dalam surah yang sama diketahui sebagai pelengkap tentang kebagaimanaan wanita-wanita menjaga hijabnya dalam bersosialisasi dan mengatakan:( Wa idzaa saaltumuhunna mataa’aan fas aluhunnna min waraai hijaabin dzalikum athharu liquluubikum wa quluubihinna …. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. (QS. Al-Ahzab : 53)
Ketika kita mencermati muatan ayat tersebut di atas, maka sangatlah jelas bahwa hijab adalah menghindari dari terjadinya dosa dan fitnah, dan kesemuanya ini telah ditekankan pada hijab dan penutup tubuh wanita untuk kebersihan dan keselamatan masyarakat. Masih terdapat banyak poin-poin tentang hijab dari ayat yang lain dalam Al-Quran yang dikarenakan pembahasannya akan dialihkan ke topik yang lain maka kami tidak memberikan penjelasannya.

Hijab dalam Hadis-Hadis dan Budaya Ahli Bait         
Adapun Al-Quran yang merupakan Tsaql Akbar dan juga amanat besar ilahi, menjelaskan bahwa penutup atau hijab wanita adalah merupakan satu tugas dan tanggung jawab, dan juga di dalam hadis-hadis ahli bait yang dikenal sebagai  Tsaql Ashgar dan tafsir Quran menjelaskan tentang hijab. Efaf atau penutup bagi wanita secara detail yang sebahagian dari hadis tersebut dapat kita tunjukkan sebagai berikut: Imam Ali kw berkata dalam suratnya kepada anaknya Sayyidina Hasan; wakfuf  ‘alaihinna min absharihinna bihijaabika iyyahunna fainna syiddata alhijaabi abqaa ‘alaihinna … Wanita-wanita yang menutup wajahnya sehingga matanya tidak tertuju pada yang non muhrim (dan mata non muhrim tidak tertuju kepadanya) di sebabkan wanita-wanita yang ketat dalam berhijab akan lebih terjaga dari segala gangguan, dan ketika mereka keluar rumah tidak lebih buruk dari orang-orang non muhrim dan membawa orang lain yang tidak dapat di percaya kedalam rumahnya.(Bihar al-Anwar, Jilid 100).  
Imam Ali dalam perkataan nuraninya, di samping beliau menegaskan tentang hijab, juga menjelaskan dengan aspek khusus filsafat dan penyebab dari hijab tersebut yang juga melingkupi kekekalan, daya tahan dan pemeliharaan wanita dalam sorotan hijabnya dan juga mengisyaratkan topik dan tema  penting yang lain yaitu tidak memasukkan orang-orang yang tidak dapat dipercaya ke dalam rumah, dan juga tidak seharusnya teman-teman dan keluarga yang non muhrim banyak lalu lalang atau bolak balik di dalam rumah, demikian pula wanita terlarang baginya untuk lalu lalang di tengah  masyarakat tanpa memakai hijab.
Dalam hadis-hadis mengenai akhir zaman telah di ingatkan, di antaranya tentang wanita-wanita yang berbuat dosa dan fitnah dan telah menjadi cercaan adalah mereka yang hadir di tengah-tengah lelaki untuk menjual diri dan tanpa memakai hijab. 
Rasulullah SAW megabarkan bahwa azab bagi wanita-wanita yang berhijab buruk adalah demikian: Shinfaani min ummatii min ahlinnaari lam arahumaa … wa nisaa’an kaasiyaatun ‘aariyaatun…; Pada malam mikraj Saya menyaksikan dua kelompok dari penghuni neraka yang sebelumnya saya tidak pernah melihat serupa ini, dalam siksaan saya melihat, sejumlah wanita-wanita yang memakai pakaian-pakaian tipis dan menampakkan tubuh (setengah telanjang) dengan wajah-wajah yang tidak tertutupi, mereka ini tidak akan memasuki surga dan tidak akan sampai kepadanya bau surga padahal bau wangi surga tersebut dapat tercium keharumannya dalam jarak yang sangat jauh dan panjang.(Atsaar as-Shadiqiin, Jilid 3)
Azab Bagi Yang Berhijab Buruk             
Imam Ali kw berkata: Saya menemui Rasulullah SAW, dan saya melihat beliau dalam keadaan menangis, saya menanyakan penyebab beliau menangis. Rasulullah SAW berkata: Dalam malam mikraj, saya melihat sejumlah wanita-wanita dari umat saya  sedang dalam azab yang sangat dahsyat. Salah satu dari mereka seorang wanita yang rambut kepalanya digantung dan dia adalah wanita yang tidak menutup rambutnya di depan non muhrim, demikian pula saya melihat seorang wanita yang memakan daging dirinya sendiri dan dia adalah wanita yang berhias dan mempercantik dirinya untuk orang lain. (Wasail, Jilid 14)
Wanita-Wanita di Akhir Zaman
Sangat disayangkan bahwa salah satu dari tanda-tanda akhir zaman yang telah banyak di jelaskan dalam hadis-hadis adalah perihal keadaan menyedihkan wanita-wanita berhijab buruk pada zaman itu. Wanita-wanita dalam zaman itu, hadir di tengah-tengah masyarakat dalam suatu bentuk yang buruk, memolekkan dan mempercantik dirinya bukan untuk suaminya, dan memakai pakaian-pakaian yang setengah telanjang dan menampakkan tubuhnya.
Rasulullah SAW berkata: Halaaku nisaai ummatii filahmaraini adzdszahabu watstsayaaburriqaaqi. Terdapat dua penyebab yang menghancurkan umat saya, yang pertama adalah emas (perhiasan-perhiasan) dan yang ke dua adalah pakaian-pakaian tipis dan menampakkan tubuh. (Arsyaadu al-Quluub, Jilid 1). Berdasarkan inilah membuat wanita-wanita berhijab buruk dan bahkan lebih buruk lagi dari mereka yang tidak berhijab, hal ini mengisyaratkan tentang kebenaran-kebenaran dari kerusakan dan kebinasaan yang merupakan tanda-tanda akhir zaman dan juga kita lihat bahwa ketidakmaluan para wanita yang mempermainkan seorang lelaki, hal inilah yang menjadi sumber kekhawatiran Rasul Akram SAW dan sangat disayangkan bahwa sebagian dari wanita-wanita muslim yang terjun dan aktif ke dalam masyarakat, mereka selangkah lebih maju dari wanita-wanita barat dengan wajah yang dihias kental dan tebal serta berpakaian ringan dan sembrono, padahal mereka ini lebih merusak dan membinasakan dari pada wanita-wanita barat yang non hijab, dan hal ini adalah masalah yang sangat besar. Seorang wanita yang menyatakan dirinya muslim seharusnya dia tidak menodai dan menyakiti hati Rasulullah SAW dan jantung Imam ‘Ashr. Apakah memang tidak boleh seorang wanita muslim meneladani dan menokohkan Sayyidah Zahra dan Sayyidah Zaenab? Apakah dahulu beliau-beliau ini hijab dan pakainnya adalah demikian? Sayyidah Zaenab kubra dalam majelis Yazid di samping beliau menyatakan protesnya terhadap Yazid, beliau juga mengisyaratkan masalah hijab dan beliau berkata pada Yazid: Bagaimana prinsip kamu terhadap tirai kesucian sehingga kamu dapat terjaga dan terpelihara dari para non muhrim dan bagaimana pula  prinsip kamu mengarak para keluarga Rasulullah SAW dari kota ke kota sehingga setiap non muhrim menengok ke arah wajah-wajah mereka?
Aminal’adli yabnaththulaqaa’a takhdiruka haraairaka wa imaaaka wa sawquka banaati rasulillahi saw sabaayaa qad hatakta sutuurahunna wa abdaita wujuuhahunna, Wahai Yazid! Apakah ini berarti adil bahwa para wanita dan para kanizmu kamu tunjukkan dibalik tirai sementara putri-putri Rasulullah SAW kamu arak ke berbagai kota dan kamu jadikan mereka tawanan dan tirai hijab mereka kamu koyak, melepaskan cadar-cadar mereka dari wajahnya?!(Hayaatu al-Imam Husain, Khotbah Hadhrat Zaenab di Syam)
Penegasan Rasulullah SAW Tentang Hijab
Rasulullah SAW selain menyarankan secara tegas terhadap pentingnya menghindari berhijab buruk, beliau juga memperhatikan dalam tingkatan  amal, Ummu Salamah salah satu dari istri-istri Rasulullah SAW mengatakan: Saya dan Maemunah istri yang lain dari Rasulullah SAW setelah sampai kepada kami tentang perintah berhijab, kami menemui Rasulullah SAW yang ketika itu pula anak dari Ummu Maktum (yang matanya buta) memasuki ruangan kami, Rasulullah SAW berkata: Ihtajibaa; tutuplah diri-diri kalian. Saya mengatakan: Wahai Rasulullah! Dia adalah buta (dia tidak akan melihat kami). Beliau berkata: Afa’umyaa wa in antuma? Apakah kalian juga buta (dan kalian tidak melihat dia)? Jadi telah jelas bahwa menjaga hijab dan tidak melihat, tidak terbatas dan terkhusus pada lelaki saja bahkan wanita juga harus menjaga mata dan tubuhnya di hadapan lelaki.

Hijab di dalam Rumah Az-Zahra
Rasulullah SAW tengah memasuki rumah Az-Zahra,  Ali kw berkata : Jelaskanlah kepada kami apa tugas-tugas kami, Rasulullah SAW berkata: Pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah di kerjaakan oleh Zahra dan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah di tugaskan kepada Ali. Fatimah  berkata: Hanya Tuhan yang tahu bahwa dengan adanya pembagian tugas ini saya sangat gembira; karena Rasulullah SAW melepaskan beban pekerjaan ini dari saya dan pekerjaan di luar rumah akan senantiasa  dilaksanakan oleh para lelaki.
Imam Shadiq  berkata: Kaanaa amiiralmu’minina,  yahtathibu wa yastasqaa wa yaknusu wa kaanat faathimatu tathhanu wa ta’jinu wa takhbizu; Amiralmu’minin as dan Fatimah as membagi pekerjaan-pekerjaannya sebagai berikut: Pekerjaan di luar rumah, seperti: mengumpulkan kayu bakar, mengambil air dari sumur, dan menyapu di kerjakan oleh Ali dan pekerjaan di dalam rumah seperti: menggiling gandum, membuat roti, dan memanggang roti dikerjakan oleh Fatimah.
Telah di nukil dari Imam Musa ibnu Ja’far  yang mengatakan: Seorang lelaki buta dengan lebih dahulu meminta izin telah memasuki rumah Fatimah  (sepertinya dia perlu dengan Rasulullah SAW) Fatimah  mengambil kerudungnya dan beliau bersembunyi di dalam kerudung tersebut (mengambil hijab), Nabi SAW berkata: Putriku mengapa engkau menutup dirimu sedangkan dia tidak melihatmu? Beliau berkata: Apabila dia tidak melihat saya, tapi saya melihat dia dan dia (jika tidak melihat dan buta) tetapi dia mencium bau wanita! Rasulullah SAW sedemikian gembiranya sambil berkata: Saya bersaksi bahwa engkau adalah belahan jiwaku. (Hayaatu Al-Imam Husain,Khutbah Hadrat Zaenab)
Pada hakikatnya Rasulullah SAW menegaskan bahwa Fatimah sangat teliti dan berhati-hati dalam suatu pekerjaan yang berhubungan dengan menjaga dan memelihara hijab di depan non mahram. Sayyidah Fatimah  dalam menjawab pertanyaan Rasulullah SAW yang berbunyi: Apa yang lebih baik bagi wanita? Fatimah berkata: An laa yaraahunnarrijaalu wa laa yarainarrijaala; lelaki tidak memandang wanita dan wanita tidak memandang lelaki, seketika itu Rasulullah SAW berkata: Engkau adalah benar-benar belahan jiwaku. (Wasaail,jilid 14)   
 Hijab Setelah Meninggal
Sayyidah Zahra semasa hidupnya, berkenaan dengan masalah hijab, baginya tidak hanya sebuah nilai dan asas; bahkan beliau juga mengkhawatirkan jenazah dirinya ketika setelah meninggal. Asma binti Umais berkata: Suatu hari Fatimah berkata kepada saya: Saya tidak ridha melihat perlakuan masyarakat Madinah yang wanita-wanitanya apabila setelah meninggal mereka membawanya ke pemakaman dalam bentuk yang tidak menyenangkan dan hanya selembar kain yang menutupi tubuhnya, padahal lekuk-lekuk tubuh mereka dapat terlihat di balik kain tersebut. Asma berkata: Saya melihat sesuatu di negeri Habasyah yang mengangkut jenazah-jenazah mereka. Mereka mengambil ranting-ranting dari pohon kurma kemudian mereka membuatnya menjadi sebuah keranda, setelah itu sebuah kain di letakkan di atasnya dan mereka letakkan jenazah di dalam keranda tersebut, sebagaimana badan jenazah itu tidak akan terlihat. Ketika Fatimah mendengar topik ini beliau tersenyum dan inilah  satu-satunya senyuman yang terlihat dari beliau setelah wafatnya Rasulullah SAW oleh karena itu beliau berwasiat: Sediakanlah bagiku sebuah keranda yang apabila jenazah di angkat tubuhku tidak terlihat. (Dzakhaair al ‘aqbaa)
Oleh karena itu dengan memperhatikan pada ayat-ayat Quran Karim yang sebagian dari pembahasannya telah kami jelaskan dan perbuatan serta sunnah Rasulullah SAW dan keluarganya yang suci serta juga telah sampai kepada kita poin-poin kecil yang berbeda-beda dari para pemimpin agama, hijab bagi wanita dan lelaki adalah suatu kewajiban yang tidak dapat di ingkari dan barang siapa yang mengingkarinya, berarti ingkar terhadap salah satu kewajiban-kewajiban islam dan tidak satupun alasan dan uzur yang dapat di terima.
Menjaga Hak Ilahi dan Hak Sosial     
Hijab bukanlah satu hak seseorang yang dapat mengatakan bahwa saya tidak senang menjaga hak ini; bahkan pada tingkat awal hal ini adalah hak Ilahi dan perintah Tuhan, dan menjaganya berarti menjaga hak Tuhan dan tidak menjaganya, berarti menginjak-injak hak Tuhan dan akan mendapat azab Ilahi, khususnya apabila sejumlah dari para pemakai hijab buruk, menyeret sebagian orang untuk berbuat dosa dan ribuan dosa-dosa lainnya yang dalam hal ini, mereka akan mendapat azab di hari kiamat lebih dahsyat dan kemalangan serta kehancuran mereka di alam akhirat yang tidak dapat di ungkapkan. Di samping itu bahwa menjaga hijab dan kehormatan, adalah suatu hak pasti sosial sebab bencana dari ketidakterjagaan dalam berhijab ini juga akan sampai kepada orang-orang di sekitarnya dan juga menjadi penyebab meluasnya dosa serta polusi di seputar orang-orang yang tinggal di dalam masyarakat itu sendiri. Seseorang tidak akan mampu memecahkan rintangan ini dan ini sama halnya dengan orang yang menciptakan kerusuhan dalam sebuah pesawat atau kapal laut, dalam hal ini tenggelamnya kapal laut atau jatuhnya pesawat akibatnya akan mencederai semua orang, tidak hanya pada orang yang berbuat kerusuhan itu; dari hal ini sebagian orang di dalam masyarakat mempunyai hak untuk menghalangi orang-orang yang tidak berhijab dan yang berhijab buruk, dan ini bukan berarti ketiadaan kebebasan, bahkan hal ini berarti menjaga kebebasan orang lain. Dengan dalil ini, amar ma’ruf wa nahi munkar adalah wajib bagi seluruh masyarakat sosial, jadi seluruh masyarakat harus bertindak untuk mencapai hak-haknya sebagai masyarakat dan keselamatan sosialnya. Dalam ibarat yang lain, semua masyarakat mempunyai hak untuk memanfaatkan kemudahan dan keamanan ruh dan pikirannya, apabila seseorang memberikan hak pribadinya memasuki masyarakat dengan terbuka dan telanjang maka orang lain pun juga akan menggunakan haknya untuk menghalangi dia; sebab dia akan mencemari para wanita dan juga lelaki, dimana merupakan sumber hilangnya rasa malu yang dapat menyeret mereka untuk berbuat dosa. Setiap ayah mempunyai hak untuk mengkhawatirkan anak-anak sucinya untuk tidak berbuat dosa. Jadi mengapa orang lain yang dirinya sendiri tidak berhijab  harus memyediakan sarana untuk melakukan dosa kepada anak-anaknya? Mengapa pemerintah tidak bertindak dan tidak melarangnya? Mengapa pihak kehakiman dan pihak keamanan tidak menindaki mereka? Oleh karena itu apabila seorang non hijab memberikan hak pribadinya yang menyerupai hewan bebas, maka orang lain pun juga menggunakan haknya untuk menghalangi hewan yang tidak berakal ini dan mengutamakan hak sosial dari pada hak pribadinya.
Apakah Hijab Mempunyai Warna dan Batas Tertentu?
Tidak di ragukan bahwa hijab yang menjadi topik pembahasan luas adalah hijab yang di ketahui sebagai suatu penutup yang menutupi seluruh bentuk-bentuk tubuh wanita, tidak merangsang dan tidak menarik, jadi warna tertentu bukanlah suatu batasan dan tidak menjadi perhatian khusus; akan tetapi dengan dalil bahwa warna hitam menjauhkan dari segala rangsangan dan ketertarikan dan juga terkesan berat dan kental; dan dengan ta’bir lain bahwa warna hitam adalah tidak menarik pandangan dan perhatian; oleh karena itu lebih banyak di jadikan fokus dan tinjauan, dan tidak ada satu pun hadis yang yang mengatakan tentang warna penutup (hijab) wanita dan batasannya menutupi seluruh tubuh kecuali muka, dan kedua pergelangan tangan. Di samping itu bahwa cadur di tinjau dari suatu jenis penutup yang sempurna, yang mana cadur adalah eksistensi kata julbab yang terdapat di dalam Al-Quran dan dapat dijadikan pakaian atau penutup yang lebih baik dan lebih sempurna dan tidak ada bedanya antara yang berlengan (‘abaa arab) atau tanpa lengan (cadur iran).
Sayyidah Zahra dan juga anak-anak sucinya seperti halnya orang-orang mukmin lain dalam sepanjang sejarah Islam, mereka dahulu memilih hijab yang lebih sempurna dan wanita-wanita muslim masa sekarang seharusnya menjadikan mereka sebagai contoh atau tokoh pribadinya.
Hal-hal Yang Telah Menjadi Pengecualian Menutup Bagi Wanita
Memelihara dan menjaga hijab adalah wajib dalam segala kondisi; akan tetapi ada hal-hal yang telah menjadi pengecualian. Adalah sudah pasti bahwa yang menjadi pengecualian tersebut kita cukupkan hanya pada hal-hal yang dharuri saja.
1.Wajah dan Tangan Sampai Pergelangannya.
Seperti yang telah kami katakan bahwa seluruh tubuh wanita harus tertutup dari non muhrim; kecuali wajah dan kedua tangan sampai pergelangannya yang bagi wanita tidak wajib menutupnya, meskipun bahagian itu juga mustahab menutupnya dan merupakan hal yang baik. Dari sisi ini kebanyakan wanita-wanita beragama di zaman dahulu mereka memakai cadar dan sampai sekarang masih ada pula wanita-wanita yang memakainya. Adalah haram melihat ke wajah atau tangan wanita apabila bermaksud untuk berlezat-lezat dan hal ini di hitung sebagai ajang cuci mata  tanpa melakukan dosa terhadap wanita itu sendiri.
Aisyah menukil bahwa: Asma putri Abu Bakar telah masuk dan hadir di depan Rasulullah SAW dalam keadaan dia berpakaian tipis dan menampakkan tubuh, Rasulullah SAW membalikkan wajah darinya dan berkata: Wahai asma! Tidak selayaknya wanita yang telah sampai pada masa balighnya menampakkan sesuatu dari tubuhnya; kecuali dua bagian yang Rasulullah SAW isyaratkan pada wajah dan kedua tangan sampai pergelangannya. (Sunan Abu Dawud, Jilid 2)  
Masalah: Wanita harus menutup tubuh dan rambutnya dari non muhrim dan ihtiyat wajib dia juga menutup tubuh dan rambutnya dari anak laki-laki yang masih belum baligh tetapi dapat menentukan baik dan buruknya sesuatu (mumayyis). (Risalah Maraji’)
Ali ibnu Ja’far dalam menjawab masalah bahwa sampai dimana batasan non muhrim dapat melihat tubuh wanita?
Dari perkataan saudaranya Imam Musa ibnu Ja’far berkata: Alwajhu walkaffa wa maudhi’a assiwaari;[1] (hanya) dapat melihat pada wajah dan telapak tangan dan tempat gelang yang biasa tergantung di tangannya. (Qarb al-Asnaad)
Tidak diragukan bahwa maksud dari melihat adalah melihat tanpa bermaksud berlezat-lezat.
2.Ketika Melamar
Satu hal lagi yang lelaki dapat melihat pada wanita non muhrim adalah ketika lelaki datang melamar. Apabila seorang lelaki bermaksud ingin menikah dengan seorang wanita maka berdasarkan hadis-hadis, lelaki tersebut dapat melihat ke wajah dan bahkan rambut kepala wanita itu sehingga lelaki tersebut tidak menyesal setelah menikah. Dalam konteks ini, pada hakikatnya lelaki dihukumi sebagai seorang pembeli dimana dia harus memilih barang yang merupakan keinginannya, agama Islam juga memperhatikan hal ini dan mengatakan: Lelaki dapat melihat calon istrinya tanpa bermaksud berlezat-lezat dengan syarat bahwa si wanita tersebut akan dinikahinya. Imam Ali Kw berkata tentang perihal seorang lelaki yang ingin aqad dengan seorang wanita, beliau mengatakan: Tidak ada halangan untuk melihat si wanita tersebut; sebab lelaki adalah pembeli. (Wasaail, Jilid 14)
Imam Shadiq berkata: Tidak ada halangan seorang lelaki yang ingin menikah dengan seorang wanita melihat ke wajah dan tempat gelangnya. (Wasaail, Jilid 14)
Dalam hadits lain beliau berkata: Lelaki dapat melihat keindahan-keindahan dan rambut kepala calon istrinya dengan syarat bahwa tidak bermaksud untuk berlezat-lezat.
3.Dharurat
Satu lagi yang telah menjadi pengecualian dalam hal melihat kepada non muhrim adalah dalam keadaan dharurat; seperti ketika jiwa seorang non muhrim dalam bahaya dan dokter tidak mempunyai cara lain untuk menolongnya kecuali dia terpaksa harus menyentuh dan mengoperasinya; seperti melahirkan dan lain-lain. Akan tetapi dharurat di sini berarti bahwa hanya berkeinginan untuk menolong jiwanya; tetapi apabila dokter wanita tersedia, tanpa adanya dharurat maka dokter lelaki tidak boleh melihat dan menyentuh pasien non muhrim. Bahkan jika memungkinkan dia boleh melihatnya lewat cermin dan tidak boleh melihatnya secara langsung.
Akan tetapi di tengah-tengah masyarakat hal ini sering membayangi bahwa dokter adalah muhrim; ini adalah kesalahan belaka, dokter sampai kapanpun adalah non muhrim dan hanya ketika dharurat, dia dapat melihat kehormatan atau menyentuh pasiennya dan karena hanya dengan jalan memeriksa masalah akan terselesaikan.
4.Muhrim       
Dalam Al-Quran mengenai ayat-ayat hijab, muhrim dapat diketahui apakah dengan perantaraan perkawinan seperti: Ibu si istri dan ayah suami dan dengan perantaraan nisbi seperti: saudara laki-laki, ayah, paman dari pihak ayah, paman dari pihak ibu, yang kesemuanya ini telah menjadi pengecualian; yakni para muhrim tersebut dapat melihat satu sama lain tanpa disertai dengan berlezat-lezat dan apabila disertai dengan berlezat-lezat maka melihat baginya adalah haram, meskipun wanita  tidak wajib menutup untuk muhrimnya; akan tetapi adalah baik jika menjaga kehormatannya.
Ibu atau saudara perempuan tidak sepantasnya berpakaian sedemikian rupa di hadapan anak lelakinya yang masih bujang sehingga dapat menyalahi kehormatan, dan mereka juga tidak sepantasnya berhias diri di depan kakek, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah dan ibu, sebagaimana diketahui sebagai muhrim, meskipun tidak haram memakai pakaian-pakaian yang merangsang dan menyalahi kehormatan di depan para muhrim yang telah di sebutkan tadi, tetapi hal ini adalah tidak benar dan tidak sopan. Kesalahan lain yang sering terjadi pada sebagian dari keluarga adalah bahwa saudara perempuan si istri atau saudara laki-laki suami diketahui adalah muhrim dan hadir di hadapan mereka tanpa memakai hijab, padahal sangkaan dan pikiran ini adalah salah dan jika suami anda mempunyai sepuluh saudara laki-laki atau istri anda mempunyai sepuluh saudara perempuan maka bagi anda semuanya ini adalah non muhrim. Menantu wanita dapat menjadi muhrim dengan suami dan ayah suaminya hanya dengan melalui perkawinan dan sebaliknya pula menantu lelaki dapat menjadi muhrim dengan istri dan ibu istrinya hanya dengan melalui perkawinan dan selainnya itu harus menjaga hijabnya.

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum. Semoga makin banyak ahwat yang tergerak hatinya untuk memakai jilbab. Terimakasih artikelnya menambah pengetauan. Sukses selalu. Yu berjilbab pakai koleksi jilbab dan mukena dari Meidiani yang sekarang dapat Anda dapatkan di http://jilbabers.com/. Wassalam

    BalasHapus