Senin, 18 Maret 2013

ADAB DALAM BERHUBUNGAN SUAMI-ISTRI DALAM ISLAM


Bagi sepasang suami-istri, berhubungan badan (baca: jima’) merupakan kebutuhan yang tidak terlewatkan, dan bisa menjadi salah satu tolak ukur kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga. Bahkan bukan hanya bernilai kebutuhan, hubungan ini pula pastinya merupakan ibadah di hadapan Allah dan Dia akan memberikan bagi pelakunya pahala shadaqah.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya tentang pernyataan beliau bahwa hubungan suami-istri (baca: jima’) -karena hubungan badan itu adalah melampiaskan syahwat- ini termasuk kedalam bentuk shadaqah:

أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ؟ وَكَذِلَكَ لَوْ وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

“Bukankah apabila seseorang melampiaskan syahwatnya pada tempat yang haram dia mendapatkan dosa? Begitu pula jika dia melampiaskan syahwatnya tersebut pada tempat yang halal, maka baginya pahala.” (HR. Muslim).

Islam adalah agama yang sempurna, maka Islam pun mengatur dan memberikan rambu-rambu serta meletakkan adab-adab yang berkaitan dengan kebutuhan dan ibadah agung yang satu ini.

Diantara adab-adab yang berkaitan dengan hubungan suami-istri (baca: jima’) ini adalah:

1. Hendaknya membaca doa sebelum berhubungan dengan istri.

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syaithan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang kau anugrahkan kepada kami.” (HR Bukhari 1/65 no 141 dan Muslim 2/1058 no 1434).

Doa ini disunnahkan bagi sang lelaki adapun sang wanita jika hendak membaca doa ini maka tidak mengapa karena asal dalam hukum adalah tidak adanya pengkhususan hukum terhadap lelaki atau wanita. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah 19/357 no 17998).

Fadhilatusy Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Karena terkadang syaithan ikut serta bersama seseorang tatkala menjimaki istrinya sehingga ikut menikmati istrinya. Oleh karena itu Allah berfirman:

وَأَجْلِبْ عَلَيْهِم بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ 
“Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak.” (Al Israa’: 46).

Berkata sebagian Ulama, ‘Ikut sertanya syaithan dalam anak-anak adalah jika seseorang tidak menyebut nama Allah tatkala hendak menjima’i istrinya, maka terkadang syaithan ikut serta menikmati istrinya’.” (Asy Syarhul Mumthi’ 12/416).

Berkata Syaikh Alu Bassaam rahimahullah:

“Hadits ini merupakan dalil bahwa syaitan tidak meninggalkan seorang bani Adam pun. Dia selalu menyertainya dan mengikuti gerak-geriknya untuk mendapatkan kesempatan menggoda dan menyesatkannya semaksimal mungkin. Akan tetapi seorang yang cerdik adalah yang tidak memberikan peluang kepada syaitan yaitu dengan berdzikir kepada Allah.” (Taudhihul Ahkaam 4/458).

2. Boleh bagi keduanya untuk bertelanjang karena boleh melihat dan menyentuh seluruh tubuh pasangannya, namun sebaiknya untuk menutup tubuh mereka berdua. (Fatwa Lajnah Ad Daimah 19/359 no 2892 dan 19/361 no 4250 dan 19/361 no 4624, Penjelasan Syaikh Al ‘Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumthi’ 12/416).

3. Hendaknya sang suami sebelum menjima’i istrinya melakukan pemanasan (foreplay) untuk menggairahkan syahwat istrinya seperti ciuman, sentuhan, dan yang lainnya, sehingga keduanya sama-sama bangkit syahwatnya. Karena hal ini akan menambah kelezatan. (Penjelasan Syaikh Al ‘Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumthi’ 12/415).

4. Boleh bagi keduanya untuk berbicara sedikit tatkala sedang berjima’ terutama perkataan-perkataan yang menggairahkan syahwat. Bahkan terkadang perkataan-perkataan yang seperti ini dituntut. (Penjelasan Syaikh Al ‘Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumthi’ 12/416).

5. Terlarang bagi sang suami untuk mencabut dzakarnya dari farj (kemaluan) istrinya sebelum istrinya mencapai kepuasan. (Penjelasan Syaikh Al ‘Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumthi’ 12/417).

6. Boleh bagi sang suami untuk menikmati (meletakkan dzakarnya) ke seluruh bagian tubuh sang istri, baik dari depan maupun dari belakang, bahkan boleh baginya untuk meletakkan dzakarnya diantara belahan dua pantat istrinya selama tidak masuk dalam lingkaran dubur. (Fatwa Lajnah Ad Daimah 19/351 no 6905 dan 19/352 no 7310).

7. Boleh bagi seorang suami untuk menjima’i istrinya lebih dari sekali dalam satu malam tanpa mandi atau wudhu, namun sebaiknya berwudhu sebelum mengulangi jima’nya karena akan menjadikannya lebih bersemangat. (Fatwa Lajnah Ad Daimah 19/349 no 13748). Namun disunnahkannya wudhu ini hanya berlaku bagi sang lelaki karena dialah yang diperintahkan untuk melakukannya dan bukan sang wanita. (Fatwa Lajnah Ad Daimah 19/350 no 18911).

8. Boleh (dan tidak makruh) bagi sang suami untuk mengisap payudara istrinya, dan jika air susu istrinya sampai masuk ke lambungnya maka tidak menjadikannya haram (anak persusuan). (Fatwa Lajnah Ad Daimah 19/351 no 6657).

9. Boleh bagi suami untuk menjima’i istrinya yang sedang hamil kapan saja waktu kehamilannya selama tidak menimbulkan bahaya. (Fatwa Lajnah Ad Daimah 19/353 no 18371).

10. Tidak mengapa bagi suami dan istri untuk berjima’ dihadapan bayi yang masih dalam persusuan karena ia tidak mengerti, adapun anak kecil yang sudah berumur tiga tahun atau empat tahun yang bisa mengungkapkan apa yang dilihatnya maka hal ini dilarang. (Penjelasan Syaikh Al ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumthi’ 12/418).

11. Tidak boleh menjima’i sang istri di kemaluannya tatkala ia sedang haid dan nifas. Sebagaimana firman Allah ta'ala:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُJH : ّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ 
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri (tidak menjima’i nya) dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati menjima’i) mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al Baqarah: 222). (Penjelasan Syaikh Al ‘Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumthi’ 12/396).

12. Namun boleh mencumbui atau menjima’i istri yang sedang haid dibagian mana saja dari tubuh sang istri yang penting bukan dikemaluan atau dubur. Karena hukum asal dalam berjima’ adalah halal. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إلاَّ النِّكَاح
“Lakukanlah segala perkara kecuali nikah (yaitu kecuali menjima’i kemaluan istri yang sedang haid)” (HR Muslim 1/246 no 302), (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumthi’ XII/397).

13. Disunnahkan bagi sang istri yang sedang haid untuk memakai sarung untuk menutup kemualuannya tatkala sang suami sedang mencumbuinya. Dan diantara hikmahnya adalah bisa jadi sang suami melihat darah haid atau mencium bau yang kurang sedap sehingga mempengaruhi perasaannya. (Atau bisa jadi syahwatnya terlalu tinggi hingga akhirnya nekat untuk menjima’i kemaluan istrinya yang sedang haid-pen) (Penjelasan Syaikh Al ‘Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumthi’ 12/398).

14. Diharamkan untuk menjimaki istri melalui duburnya.

Allah berfirman:

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ 
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Al Baqarah: 223).

Dan dubur bukanlah tempat bercocok tanam bagi sang suami. Dan banyak hadits yang menyatakan keharaman menjima’i istri di dubur.

Selain itu qiyas juga menunjukan akan haramnya menjima’i istri di duburnya. Tai itu lebih kotor dan lebih menjijikan daripada darah haid, maka jika jima’ ditempat keluarnya darah haid diharamkan karena ada darah haid maka jimak ditempat keluarnya tai lebih diharamkan lagi. (Dan juga bahwa diharamkan jima’ di tempat haid padahal itu hukumnya sementara saja hingga berhenti darah haid maka terlebih lagi diharamkan jima’ di dubur karena dubur senantiasa dan selalu merupakan tempat kotoran-pen). Selain itu jimak di dubur seperti homoseksual, oleh karena itu sebagian ulama menamakan jima’ di dubur dengan nama homoseksual kecil. (Penjelasan Syaikh Al ‘Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumthi’ 12/399).

Faidah:

Syaikh Alu Bassaam berkata:
“Pada ayat di atas (Al Baqarah: 223) terdapat dorongan dan motivasi untuk melakukan jima’ karena Allah menyebutnya sebagai “bercocok tanam”. Karena berocok tanam akan membuahkan hasil yang bermanfaat serta buah-buahan yang baik. Maka demikianlah juga dengan jima’ yang menyebabkan banyaknya keturunan dan memperbanyak barisan kaum muslimin dan mewujudkan bangganya Nabi shallallahu 'alihi wa sallam akan banyaknya pengikutnya di hadapan para nabi yang lain pada hari kiamat kelak.” (Taudhihul Ahkaam IV/456).

15. Dilarang bagi keduanya untuk menceritakan kepada orang lain tentang jima’ yang telah mereka lakukan. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dala Asy-Syarhul Mumthi’ 12/419).

16. Dilarang bagi keduanya untuk memotret atau mengambil gambar jima’ yang mereka lakukan meskipun dijaga dan tidak diperlihatkan kepada orang lain. (Fatwa Lajnah Ad Daimah 19/367 no 22959).
Demikian adab-adab yang berkaitan dengan hubungan suami-istri. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar